Minggu, 20 Maret 2011

Kutukan Energi

Bicara energi di Indonesia adalah bicara tentang kebodohan. Bodoh karena dari waktu ke waktu terjebak dalam kesalahan yang itu-itu lagi. Sehingga sumber energi yang kaya dan beragam, berubah menjadi kutukan.

  • Kutukan pertama dan utama adalah jebakan subsidi bahan bakar minyak. Subsidi memang menjadi kewajiban pelayanan negara terhadap publiknya. Tetapi dalam soal minyak, Indonesia melanggar sangat serius prinsip subsidi itu sendiri. Yaitu, negara hanya menyubsidi produk yang berkelimpahan di dalam negeri. 

Apakah Indonesia berkelimpahan minyak bumi? Jawabnya, tidak.
  • Kutukan kedua, adalah subsidi yang salah arah sehingga terjadi pemborosan luar biasa. Menyubsidi langsung pengguna kendaraan bermotor adalah kekeliruan fatal.

Seyogianya subsidi BBM diberikan kepada PLN agar pada gilirannya rakyat dan industri memperoleh listrik murah. Atau subsidi kepada pengelola angkutan publik seperti kereta api dan bus umum sehingga menekan ongkos transportasi khalayak serta mendongkrak daya saing industri.

  • Kutukan ketiga, macetnya migrasi energi fosil ke energi nonfosil. Bappenas dan Dana Moneter Internasional telah mengeluarkan peringatan bahwa minyak bumi Indonesia akan kering sama sekali dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi.
Bappenas menyebut 14 tahun dari sekarang, sementara IMF menunjuk tahun 2020, sembilan tahun lagi. Tetapi energi alternatif sampai hari ini tidak terlihat menjadi pilihan prioritas.
APBN 2011 menetapkan harga patokan minyak US$80/barel. Dengan patokan harga itu defisit ditetapkan pada angka Rp120 triliun. Setiap kenaikan harga US$1 per barel akan menambah beban anggaran sekitar Rp0,8 triliun.


Sekarang ini harga minyak dunia sudah mendekati US$120/barel--kenaikan mencapai US$40/barel. Berarti defisit anggaran bisa membengkak sekitar Rp32 triliun. Bila politik subsidi BBM tetap dipertahankan seperti sekarang di tengah fluktuasi liar harga minyak dunia, APBN bisa jebol.
Supaya keluar dari kutukan energi, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan revisi total dan berani terhadap politik energi nasional. Selama ini kita terjebak dalam politik energi yang tidak berpihak kepada pasar dalam negeri sehingga Indonesia seperti tikus yang mati di lumbung padi.

Batu bara berlimpah, gas berlimpah, tapi semuanya diabdikan bagi pasar global. Pasar dalam negeri merana.


Keberpihakan politik energi bagi kepentingan dalam negeri juga harus diperlihatkan dalam hal kepemilikan sumber energi itu. Dari 900 ribu barel per hari minyak yang dikuras dari perut bumi Indonesia, yang dikuasai negara (Pertamina) kurang dari 20%. Karena itu, bila masa kontrak kontraktor-kontraktor minyak itu selesai, harus berani tidak diperpanjang dan diserahkan kepada Pertamina.


 Kebijakan seperti ini juga harus diterapkan dengan berani dan konsisten untuk semua jenis tambang yang dikelola pihak asing. Tanpa keberanian itu kita akan menjadi hamba pada pasar global. Ini hanya bisa dijalankan oleh sebuah politik nasional yang benar-benar mengabdi pada kepentingan umum. Bukan politik dusta. (media indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar